Cinduamato
berkuda dalam diam. Dia teringat kembali pada percakapan dengan kakaknya malam
sebelum berangkat tiga pekan yang lalu. Mereka duduk berdua di anjung tertinggi
istana. Hanya sebatang lilin yang menemani, apinya bergoyang pelan ditiup
angin. Malam sudah turun dengan sempurna. Di langit purnama
empat belas hari menggantung cerah tetapi sinarnya terhalang oleh mendung yang
cukup tebal. Di bawah, para prajurit ronda sedang berkeliling. Empat Dubalang
terlihat sedang duduk mengawasi dari depan pintu masuk istana. Sudah lama
menjadi pertanyaan, apakah keempat orang itu pernah tidur.
“Waktu kecil kita
berdua selalu bersembunyi disini kalau sudah melakukan kenakalan dan Bundo
menyuruh orang-orang mencari”, kata Dang Tuanku sambil menatap jauh ke arah
dusun Pinang Masak. “Kita hanya menyerah setelah badan kita gatal karena debu
atau kelaparan. Aku yang selalu mengajak kita menyerah tapi kau selalu
menahanku dengan kekeras kepalaanmu.”
“Mendiang ayah
akan tertawa lalu membawa kita mandi ke tepian. Aku tidak akan pernah lupa masa
kecil kita”, sambung Cinduamato. “Aku yakin tidak ada yang
sebahagia kita. Punya seorang ayah yang sangat menyayangi dan dua orang ibu
sangat mencintai.”
Dang Tuanku
menghirup sedikit nira dari gelasnya. Wajahnya muram
dan setiap kali suasana hati sang raja sedang tidak enak, mendung selalu
menutupi kawasan Bukit Gombak.
“Banyak hal sudah
terjadi sejak ayahanda tiada, kita diasah oleh waktu dan keadaan yang mungkin
tidak dialami pangeran-pangeran di negeri lain. Itu adalah harga dari kebesaran
yang ayah tinggalkan untuk negeri ini, untuk kita dan seluruh rakyat
Minangkabau. Ada orang-orang besar disekeliling kita yang tidak pernah letih
mengajari dan membantu kita menjaga dan membangun negeri. Berkat usaha dan
keringat mereka sampai detik ini istana masih berdiri tegak. Sungguh besar hutang
budi kita pada mereka, dik. Meski kita diberikan kehidupan abadi, tak akan
pernah hutang budi itu bisa dilunasi.
“Tapi untuk kali
ini kita tidak bisa
meminta bantuan mereka. Ini adalah urusan kita, anak-anak ayah. Akan
kusembunyikan dimana wajahku saat bertemu ayah nanti kalau kita tidak bisa
keluar dari kemelut ini.”
“Sekali ini Mak Uniang Indodewa sudah melampaui batas”, ujar Cinduamato kering. “Semasa
ayahanda masih hidup pun dia tidak pernah memandang sebelah mata pada ayah. Meski ayah tidak mempermasalahkan itu,
tapi masih ada Bundo Kandung dan
Bundo Kambang. Darah yang mengalir dalam diri Mak Uniang sama asalanya dengan darah yang mengalir dalam diri Bundo Kandung dan
Bundo Kambang. Kenapa dia tega melakukan ini?”
“Banyak
penyebabnya dan salah satunya bara dendam yang sepertinya tidak akan pernah
padam di dada Mak Uniang. Alam saksiku, kalau tahta ini bisa membuat Mak Uniang menghapuskan dendam lama itu, akan kuberikan semuanya.”
“Aku benar-benar
tak mengerti, uwan. Sudah sangat sering aku bertandang ke Ranah
Sikalawi. Selalunya penerimaan Mak Uniang dan etek Mirah
Dalimo sangat ramah dan terbuka. Rasanya kasih yang mereka berikan padaku tulus
dari hati kecil. Tetapi dalamnya hati siapa yang bisa mengajuk.”
Dang Tuanku
memutar tubuh menghadap Cinduamato. Cahaya bulan purnama yang memberkas di sela
awan membuat sosoknya terlihat menyeramkan. Jarang sekalli Rajo Alam
menunjukkan emosinya tetapi setiap kali itu terjadi, siapa pun yang berada di
dekatnya akan gemetar. Mata Dang Tuanku berkilat dalam gelap.
“Pahamkan ini,
Cinduamato. Aku tidak pernah bertemu dengan Puti Bungsu. Dalam mimpi pun dia
tidak pernah datang menyapa. Tapi kamu harus membawanya kemari. Harus, meski
nyawamu akan lepas dari badan. Bukan karena aku hendak memperlihatkan pada
seluruh rakyat bahwa aku bisa melakukan apa saja tapi karena pertunangan ini
adalah amanat ayah dan diiyakan oleh Mak Uniang pada awalnya. Hanya ayah dan
Mak Uniang yang berhak memutus. Kita berdua paham bahwa kata putus tidak akan
pernah terucap dari mulut Mak Uniang. Jadi inilah jalan yang kupilih agar
kewibawaan ayah tidak tercoreng.
"Bawa Puti
Bungsu ke hadapanku untuk kutanyai. Kalau memang dia juga menghendaki putusnya
tali pertunangan ini, bagiku tidak mengapa. Itu yang akan kusampaikan jika
kelak aku bertemu ayahanda. Setelah itu kau antar dia kembali ke rumahnya.”
Cinduamato menekuk sebelah lututnya di
hadapan Dang Tuanku, sikap seorang panglima yang siap menjalankan titah
rajanya. “Perintah uwan kujunjung
tinggi-tinggi. Nyawaku kusabungkan untuk itu. Aku hanya akan kembali bersama Puti Bungsu. Senyampang aku gagal, tak perlu uwan cari mayatku, tak perlu
dibangunkan kuburan untukku.”
Dang Tuanku
tersenyum sedih. Diraihnya bahu adiknya lalu ditariknya berdiri.
“Kemarilah.”
Mereka berpelukan erat.
“Kita tumbuh
besar bersama, dik. Apa yang
kumakan, itu pula yang masuk ke dalam mulutmu. Keberuntungan terbesarku adalah memilikimu. Kau belahan
jiwaku. Orang boleh bilang Datuk Gampo Cino keturunan jin penguasa lautan.
Orang boleh bilang Tiang Bungkuk tidak bisa mati. Tapi kalau mereka melakukan
sesuatu pada dirimu, lautan akan kurebus, ranah Sikalawi akan kuratakan dengan
tanah, biar mereka tahu siapa Romandung sebenarnya.”
Dingin sekali
kalimat itu diucapkan. Dang Tuanku mengeratkan pelukannya. “Berangkatlah. Kalau
kau lebih dulu bertemu ayahanda, sampaikan bahwa aku akan segera menyusul
kalian. Umurku tidak akan panjang kalau kau pergi mendahului.”
“Tuan Mudo…”
Cinduamato
tersentak dari lamunannya. Dubalang Tambahi yang baru saja menyapanya. Tiga dubalang
lain berkuda tidak jauh dari Cinduamato, memimpin pasukan masing-masing.
Salamek Panjang Gombak berkuda paling depan. Senjatanya yang masih dililit kain
hitam tersandang di punggung, hanya ujungnya kelihatan sedikit memantulkan
cahaya matahari siang.
“Ada apa?”
“Ada titipan dari
Rangkayo Puti Lenggogeni. Barusan disampaikan oleh utusan dari Sungai Tarab.”
Cinduamato
menerima selendang putih bersulam indah pemberian tunangannya. Wajah manis lembut
Puti Lenggogeni melintas dalam ruang
ingatannya. Dia ingat saat pertama kali bertemu Puti Lenggogeni. Gadis itu
muncul menghidangkan penganan saat dia bertandang ke Sungai Tarab untuk
mengikuti pelajaran tata pemerintahan dari Datuk Bandaro Putiah
bersama para pemuda lain dari berbagai negeri. Hanya sekilas tatapan mereka bertemu tetapi keduanya merasa bahwa mereka
ditakdirkan untuk menjadi pasangan. Meski sesudahnya Cinduamato masih sering ke
Sungai Tarab, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Puti Lenggogeni ― dia tidak tahu bahwa diam-diam gadis itu sering memerhatikan dirinya dari
jauh. Mungkin sekarang mereka tidak akan pernah menjadi suami istri tapi di
dalam hati keduanya sudah terikat janji yang tidak akan pernah terputus.
Cinduamato
melepaskan tutup kepalanya dan mengganti dengan selendang itu. Sekatika dia
tampak menjadi lebih sangar. Ujung selendang putihnya melambai ditiup angin.
Serentak para prajuritnya mengikuti mengikat kepala mereka dengan kain putih
tanda tulus hati yang diberikan keluarga, istri atau tunangan masing-masing.
Sungguh pemandangan yang menggetarkan kalau dilihat dari ketinggian.
Di antara lautan warna putih, tampak
jelas satu titik hitam diantara barisan pasukan.
“Kau
tidak punya ikat kepala putih?”, tanya prajurit yang berkuda di sampingku.
Aku
memerhatikan sekeliling dan menyeringai saat melihat cuma aku satu-satunya yang
mengenakan ikat kepala hitam dari destar pemberian Nilam.
“Apakah
penting?”
“Yah...
setidaknya kau tidak lain sendiri. Lagipula… ah, sudahlah. Siapa namamu?”
“Alang.
Kau siapa?”
“Aku
Dunir. Kau tahu, kita beruntung tergabung dalam pasukan Tuan Salamek Panjang
Gombak.”
Aku
menyeringai teringat raut wajah Salamek Panjang Gombak saat diusir Magek
Tonjang. “Iyakah? Kenapa begitu”
“Kudengar
kita baru akan menyerbu setelah jalan dibukakan oleh para petarung. Kita adalah
pasukan penuntas, bersama pasukan Empat Dubalang. Kau lihat kerbau-kerbau itu?
Kita akan menyerbu bersama mereka, pasukan Binuang.”
“Kau
pahamkah artinya penuntas? Entah musuh yang tuntas, atau kau yang tuntas.”
Dunir
terlihat bergidik saat menyadari kebenaran kata-kataku. “Kau benar.... Tapi
setidaknya kita berada dibawah pimpinan kepala pengawal
istana dan panglima paling
hebat di Minangkabau. Kurasa kita tidak akan mati semudah itu.”
“Panglima
paling hebat di Minangkabau sekali pun tidak bisa menjamin nyawanya tidak akan
lepas dalam perang ini, konon lagi dia menjamin nyawa pasukannya. Karena kau
orang pertama yang menyapaku dalam pasukan ini, baik kuberitahu kau cara supaya
selamat dalam perang. Apa kau mau dengar?"
Dunir
dan beberapa orang disekelilingku mulai memperhatikan, walaupun jelas mereka
tampak sangsi.
"Kalau
tidak mau, ya sudah. Aku tidak keberatan selamat sendiri."
"Eh,
mau, mau...", ujar seorang prajurit di kanan Dunir.
"Cuma
kau sendiri? Kemarilah, biar kubisikkan ke telingamu."
Serentak yang lain langsung berkata mau sehingga
bagian kami menjadi pusat perhatian yang lain. Aku menyeringai.
"Ada 2 cara untuk bisa selamat dalam perang.
Yang pertama, pulang, jangan ikut dengan orang-orang ini. Kalau yang kalian
inginkan adalah hidup, bukan kemuliaan, kesana arah yang kalian tuju",
tunjukku ke arah yang berlawanan. "Tapi kalau kalian menginginkan
kemuliaan, maju! Nyawa kalian, nyawa kita bisa tuntas dalam perang ini tapi
nama dan kemuliaan kita akan selamat selamanya."
"Kalau itu aku sudah tahu!", tukas Dunir.
"Kau hanya meniru Tuan Mudo!"
Aku seharusnya sudah menduga kalau Cinduamato akan
mengatakan hal itu untuk membakar semangat pasukannya.
"Tapi apakah Tuan Mudo mengatakan bahwa kawan
di kiri kanan depan belakang adalah tempat kita menambatkan nyawa yang
selembar ini? Apakah Tuan Mudo mengatakan bahwa kalau kita bisa saling menjaga
punggung maka kita tidak mudah dikalahkan?”, tanyaku sambil mengutip salah satu
kalimat di dalam kitab perang Sang Sapurba.
"Tidak
seperti itu...", gumam prajurit lain. "Tapi kalau aku menjaga
punggungmu, kau menjaga punggung dia, lalu dia menjaga punggung yang lain, lalu
siapa yang menjaga punggungku?"
"Aku
menjaga punggungmu, punggungnya, punggung dia, dia, dia... aku menjaga punggung
semua orang. Satu-satunya balasan yang kuminta dari kalian adalah kalau kelak
kalian kembali dengan selamat, tolong ceritakan pada anak-anak negeri ini bahwa
pasukan Tuan Mudo bertempur dengan gagah berani di bukit Tambun Tulang."
Kata-kataku
menusuk telah di hati mereka. Para prajurit itu tampak malu dan merubah sikap
mereka. Dunir berkuda dengan punggung tegak di sampingku, menyelaraskan derap
kudanya dengan kudaku. Lalu para prajurit lain ikut menyelaraskan kuda mereka
sehingga segera saja pasukan tempat aku berada sudah menjadi yang paling tertib.
Sampai
di Saruaso pasukan diistirahatkan. Dunir mengatakan bahwa jarak dari negeri ini
sampai ke bukit Tambun Tulang adalah lima hari perjalanan. Dia tidak bisa menjawab
pertanyaanku kenapa kita tidak berkubu di titik yang lebih dekat. Tiba-tiba ada seruan
agar kami, pasukan yang tergabung dibawah pimpinan Salamek Panjang Gombak,
berkumpul di sisi timur lapangan. Berhubung aku tidak tahu mana timur mana
selatan jadi aku mengekori Dunir. Rupanya si gadis kawan Jombang yang memerintahkan
kami berkumpul.
“Jangan
ada yang lengah karena kita sudah sangat dekat dengan bukit Tambun Tulang”,
katanya sambil melirikku. “Kesampingkan semua urusan pribadi dan pusatkan
seluruh perhatian pada perang. Aku tidak ingin melihat ada prajurit yang
merusak pasukanku.”
Karena
panglima gadis itu berkali-kali melirikku maka Dunir bertanya kenapa aku terus
menerus dilirik.
“Dia
pernah diusir kakakku dari rumah kami”, bisikku. “Mungkin dia masih
tersinggung.”
“Benarkah?
Hebat betul kakakmu berani mengusir putri Tuan Salamek.”
“Tuan
Salamek itu juga diusir kakakku.”
Dunir
melongo. “Tidak mungkin… Kamu jangan mengada-ada…”
Panglima
kami berhenti bicara ketika ada prajurit dari arah rumah gadang datang berlari
mendekati tempat kami berkumpul. Prajurit itu membisikkan sesuatu yang membuat
wajah panglima gadis berubah keras. Tatapannya mencorong
bagai harimau ke arahku.
“Yang
bernama Alang diperintahkan menghadap Tuan Mudo Cinduamato”, katanya dingin.
“Kenapa
bukan Cinduamato yang datang menghadapku?”, balasku sepolos mungkin.
Semua
melotot menatapku. Tapi tidak dengan prajurit utusan itu. Sepertinya dia sudah
dipersiapkan untuk mendengar kata-kataku barusan.
“Pesan
Tuan Mudo, sejak dulu adalah kewajiban Penjaga Mahkota yang datang menghadap
Penjaga Tahta”, katanya.
Aku
menyeringai. Rupanya Cinduamato sudah memastikan siapa aku sebenarnya. Si
panglima gadis mengikuti dengan ekor matanya saat aku memisahkan diri dari
pasukan. Prajurit itu mengantarku sampai depan tangga rumah gadang
kediaman Datuk Indomo, ke hadapan seorang pemuda tampan langsing yang sudah
menunggu disana.
“Salam
sejahtera, Rangkayo”, sapa pemuda itu. “Saya Malin Dewa, putra Datuk Indomo.
Silakan mengikuti saya.”
Aku
mengucapkan terima kasih pada prajurit yang mengantarku lalu berjalan bersama
Malin Dewa. Dia membawaku melintasi ruangan utama rumah gadang menuju ke depan
pintu salah satu ruangan di bagian kanan. Malin Dewa mengetuk tiga kali.
“Tuan
Mudo, Rangkayo Alang sudah disini”, katanya.
Pintu dibuka. Cinduamato tersenyum padaku. “Terima kasih, Malin.
Masuklah, Alang.”
Aku
masuk,
pintu ditutup di belakangku.
Aku menatap seisi ruangan dan tertawa dalam hati. Yang juga hadir dalam ruangan
itu adalah Tungku Tigo Sajarangan, Tuan Gadang, Salamek Panjang Gombak dan Empat Dubalang. Cinduamato
memberi isyarat agar aku duduk di salah satu kursi. Aku
tidak langsung duduk.
“Aku ingat pernah hampir diusir
dari pertemuan semacam ini, Kalau tidak salah namanya pertemuan kalangan
tertentu”, sindirku polos.
Memerah muka para bangsawan
terhormat itu. Cinduamato tersenyum miring.
“Jangan
terlalu perasa. Duduklah, Alang, ada yang aku perlu tanyakan padamu.”
“Kau dikelilingi para cerdik
pandai negeri ini dan masih perlu bertanya padaku?”, tanyaku sambil duduk.
"Apakah yang bisa kau
sampaikan pada kami tentang siasat Bukit Siguntang?"
Aku terkesiap sesaat mendengar
pertanyaan itu. Senyatanya aku tidak menyangka Cinduamato akan menanyakannya.
Permasalahannya aku tidak tahu apakah dia menanyakan itu karena pengetahuannya
yang terbatas atau dia hanya ingin memastikan sebuah kabar angin.
Siasat Bukit Siguntang sudah lama
menjadi cerita dikalangan para panglima perang. Hanya saja tidak pernah ada
yang tahu apakah siasat itu benar adanya atau hanya cerita kosong. Tidak ada
yang pernah menyatakan kebenaran atau kebohongan kisah itu. Pesan kakak
lelakiku saat mengajarkan siasat ini adalah agar aku sedapat mungkin menghindar
dari pertanyaan ini.
"Tuan Mudo, apakah andika
ingin mendengar kisah lengkap perang Bukit Siguntang?", pancingku.
"Aku sudah menamatkan kisah
itu berkali-kali, Alang. Yang aku ingin dengar adalah siasat itu sendri. Kurasa
ini adalah siasat Bukit Siguntang sangat tepat digunakan untuk menyerang bukit
Tambun Tulang."
"Apakah andika bermaksud
mempertaruhkan nyawa seluruh pasukan atas dasar kisah dalam buku? Sungguh
kasihan nasib kami yang menjadi prajurit Pagaruyung."
Salamek
Panjang Gombak sampai berdiri dari duduknya mendengar bicaraku. “Jaga sikapmu,
buyung! Ini rumah Datuk Indomo, bukan rumah Magek Tonjang…”
“Tolong
semua bisa mengendalikan diri”, kata Cinduamato tegas. “Tuan-tuan yang saya
muliakan, izinkan saya yang menangani urusan ini.”
Hebat!
Yang bicara barusan adalah Cinduamato sebagai wakil Rajo Alam. Artinya dia
memang sudah tahu bahwa siasat Bukit Siguntang adalah nyata. Sepertinya Tuan
Mudo punya banyak pembantu yang memberitahukannya berbagai hal yang benar
diantara banyak kabar angin.
“Kalau kau belum melihat masalah
yang kuhadapi, biar kuceritakan padamu. Sampai dengan hari ini tidak seorang pun yang punya gambaran seperti apa bukit Tambun Tulang itu. Aku selalu melewati jalan lain
jika hendak ke Ranah SIkalawi. Kami telah mengirim puluhan mata-mata tapi tidak
ada laporan mata-mata karena mereka semua tidak ada yang kembali. Jadi bisa kau
lihat, kami memerlukan siasat yang matang untuk mengatasi kelemahan dari segi pengetahuan
akan medan perang.”
"Tuan
Mudo, aku yakin tidak ada ilmu siasat perang yang belum andika
pelajari..."
"Semua
sudah kutamatkan, kecuali siasat Bukit Siguntang. Bagaimana aku akan
mempelajarinya kalau ahli siasat itu sudah tidak ada dan kitabnya tidak ada
di rumahku?"
Aku
menyampaikan penolakan terakhirku. "Tapi kenapa siasat Bukit Siguntang?
Kenapa bukan siasat lain?"
Cinduamato
terkekeh pelan. "Aku pun bisa mengatakan hal yang sama tentangmu, Alang.
Dari semua siasat perang yang kau kuasai, apakah menurutmu ada siasat lain yang
dapat membawa kemenangan untuk kita selain siasat Bukit Siguntang?"
Kurasakan
aliran keringat dingin di tulang belakangku. Cinduamato ternyata bukan hanya
sudah tahu siapa aku , tetapi dia pun tahu apa yang bisa aku
lakukan!
Hadirin
yang lain kini menatap lekat padaku. Mereka tentu tidak menyangka Cinduamato
akan memujiku seperti barusan. Di mata mereka tentunya aku hanya anak muda
kurang ajar yang amat tidak pantas duduk dalam satu ruangan bersama para
bangsawan Minangkabau. Seakan-akan kehadiranku dapat mengotori udara yang
mereka hisap.
"Aku
dan Dang Tuanku butuh bantuanmu, Alang."
Kalau
ada yang kurang ajar dalam ruangan ini, Cinduamato-lah orangnya!
Berani-beraninya dia menjual nama kakaknya karena dia tahu aku tidak dapat
menolak titah Rajo Alam.
"Tuan
Mudo dan tuan-tuan yang mulia", ujarku sedatar mungkin, "Semua kisah
tentang siasat Bukit Siguntang bermuara pada dua hal: darah dan kematian. Orang
yang menciptakan siasat ini pun hanya dua kali menggunakannya dan di kali kedua
dia bersumpah untuk tidak pernah menggunakannya lagi. Siasat Bukit Siguntang
adalah siasat iblis, Tuan Mudo."
Ketika Sang Sapurba menundukkan benteng tak
terkalahkan di puncak bukit Siguntang, namanya langsung berkibar diantara para
panglima perang Iskandar Zulkarnain. Sang Raja diraja memanggil panglimanya
pulang karena ada benteng musuh yang sudah berbulan-bulan tidak dapat
ditaklukkan. Sang Sapurba, dengan siasat Bukit Siguntang, menaklukkan benteng
itu dalam satu malam! Itu adalah kali kedua dan terakhir siasat itu digunakan.
Sang Sapurba bersumpah untuk tidak pernah lagi menggunakan siasat itu selamanya
setelah melihat kehancuran yang dihasilkannya. Seluruh isi benteng habis
dibantai tanpa sisa dengan korban hanya beberapa belas orang dari pihak Sang
Sapurba. Konon butuh waktu sampai berbulan-bulan untuk membersihkan benteng itu
dari darah dan mayat.
Meski kami para keturunannya tidak dilarang
menggunakan pengetahuan perangnya, kami pun sepakat untuk menghindarinya. Aku akan menjadi yang pertama melanggar sumpah
leluhur.
“Lawan
yang kita hadapi juga iblis”, tukas Salamek Panjang Gombak.
Aku
tidak menanggapinya. Aku ingin dengar jawaban dari mulut Cinduamato untuk
memastikan bahwa dia yakin memilih siasat ini. Dia mengemban tugas yang amat
berat yang dapat membuatnya membekukan hati untuk menyapu bersih semua yang
menghalangi.
Cinduamato
memutar tubuh menghadapku dan menatap lurus ke arah mataku. “Kita berdua punya
tugas yang harus ditunaikan. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai aku
gagal dalam tugasku.”
Betul-betul
kurang ajar pangeran ini!
Dia
menyudutkanku dengan mengatakan itu. Kalimatnya juga bisa diartikan
sebagai kau tentu juga tidak akan dimaafkan kalau sampai gagal
menjalankan tugasmu yang ada hubungannya dengan diriku.
Aku berdiri dan menatap semua orang dalam ruangan. “Aku berlepas diri kalau ada diantara kita yang
terkena tulah kutukan siasat ini di kemudian hari.”
Karena tidak ada yang menanggapi
ucapanku maka kuartikan mereka semua siap menerima apapun yang akan terjadi kelak.
Aku mengheningkan rasa, meminta
izin pada kakakku untuk membuka salah satu rahasia kelam keluarga kami. Detak
rasa yang datang dari kakakku kemudian membuatku sedikit lebih tenang karena
aku diberikan izin untuk menggunakan siasat Bukit Siguntang.
"Seperti yang disebutkan
dalam berbagai kisah", ujarku memulai. "Siasat Bukit Siguntang
diciptakan saat penyerbuan ke bukit Siguntang. Lima ratus pasukan yang mempertahankan bukit
Siguntang habis seluruhnya dibantai kurang dari seratus pasukan penyerbu.
Kemenangan yang gilang gemilang harus dibayar dengan harga yang teramat mahal.
Sebagian besar dari pasukan penyerbu menjadi gila sasar. Tidak ada jiwa yang
sanggup menahan tekanan sedemikian besar setelah membunuh begitu banyak dan
begitu sering dalam waktu singkat."
"Kalau kau bermaksud
menakut-nakuti kami, itu tidak akan berhasil", kata salah seorang dari
Empat Dubalang dengan nada mengejek.
"Kalau kalian takut hanya
karena kisah dalam buku, salah besar membawa kalian kemari."
Cinduamato mengangkat tangannya
agar kami tidak baku hantam. "Jadi apa yang bisa kau ceritakan pada
kami?"
"Ada tiga syarat keberhasilan siasat ini. Syarat pertama adalah membuat medan pertempuran layaknya bukit Siguntang."
"Seperti apa itu bukit
Siguntang?", tanya Datuk Indomo. "Apakah Rangkayo pernah
mendatanginya?"
"Ini kali pertama saya keluar
dari pulau tempat saya lahir dan besar, Datuk. Untuk sampai ke ruangan ini pun
saya harus diantar agar tidak tersesat. Konon lagi bukit Siguntang, saya tidak
tahu seperti apa bentuknya."
"Jadi bagaimana caranya kita
membuat medan pertempuran kalau kita tidak tahu seperti apa itu bukit
Siguntang?"
"Menurut Datuk, kalaupun ada yang pernah
naik ke bukit Siguntang, siapa yang bersedia merubah bukit Tambun Tulang
menjadi seperti bukit Siguntang?"
Datuk Indomo, walaupun mungkin dia tersinggung dengan ucapanku, tidak menampakkan kesan apa pun di wajahnya. Dia tetap kelihatan sinis dan penuh pertimbangan.
"Menurutku syarat
pertama sudah terpenuhi", lanjutku, "Kita tidak tahu keadaan di bukit
Tambun Tulang sama seperti ketidak tahuan kita pada keadaan di bukit
Siguntang."
Cinduamato tampak berkilat-kilat
matanya, Tuan Gadang kulihat sedikit terangkat ujung bibirnya. Kurasa mereka
langsung paham kemana arah bicaraku.
"Apa syarat yang
kedua?", tanya Cinduamato.
"Dalam kisah-kisah disebutkan
bahwa pasukan yang bertahan di bukit Siguntang jumlahnya sekitar lima ratus
orang dan pasukan penyerbu adalah sekitar seratus orang..."
"Kita membawa seribu
orang!", potong salah seorang dubalang sambil berdiri penuh semangat.
"Aku yakin para penyamun itu tidak sampai lima ribu orang."
"Kalau begitu mari kita
serbu!", sindirku.
"Ya, Tuan Mudo, mari..."
Dubalang itu tampak salah tingkah
saat Cinduamato menegur dengan lirikannya. Dia duduk perlahan dengan kepala
agak ditundukkan.
"Dari seratus orang pasukan
penyerbu, hanya dipilih lima orang untuk mendampingi panglima tertinggi mereka
sebagai pasukan pembuka jalan. Kenapa hanya lima?"
"Apakah mungkin karena yang
berlima itu adalah yang paling tinggi ilmi silatnya?", tebak Tuan Gadang.
"Salah satunya, tapi yang
sebenarnya adalah kelima orang itu adalah lima orang kakak beradik kandung.
Mereka berlima punya cara rahasia untuk menyampaikan berita satu dengan yang
lain. Dengan demikian, panglima tertinggi mendapatkan berita dari lima sumber
yang berbeda untuk membantunya mengambil keputusan perang."
"Syarat itu sudah
terpenuhi", kata Cinduamato mantap. "Ada mamak Salamek
dan Empat Dubalang. Apa syarat berikutnya?"
"Ini syarat paling berat:
panglima tertinggi tidak hanya memerintakan prajuritnya untuk membantai seluruh
lawan, tapi dia yang paling depan saat melakukannya."
Seisi ruangan langsung senyap.
"Bagian ini tidak pernah
diceritakan dalam kitab mana pun. Sang panglima dengan sengaja mencari pasukan lawan dan membantai mereka
dengan kejam. Dia dengan sengaja hanya menyisakan satu orang agar orang itu lari melapor ke pasukannya yang lain. Perintah yang sama diberikan kepada lima pembantunya. Mereka mengikuti
orang-orang yang dibiarkan hidup itu sampai ke tempat kelompok pasukan lain lalu membunuh mereka semua,
menyisakan satu orang. Begitu seterusnya. Saat pasukan bertahan menyadari hal
ini, semua sudah sangat terlambat. Pasukan utama mereka dibantai dalam sekejap.
Kejar mengejar dan pembunuhan tanpa henti, semua tuntas dalam satu
malam."
Kali ini dapat kulihat kengerian
terbayang di wajah mereka semua, selain pada wajah Cinduamato. Bukan karena dia
sangat pemberani dan tak kenal takut tapi dia sudah menetapkan
pilihannya, Aku menduga dia sedang memikirkan bagaimana caranya menerapkan siasat Bukit Siguntang tetapi tidak dalam tingkat kekejaman seperti yang sebenarnya.
"Bagaimana kalau lawan
memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan?", tanya Tuan
Gadang. "Bagaimana cara kita menemukan pasukan utama mereka kalau tidak
ada yang membawa kita kesana?"
"Aku belum pernah bertemu penyamun yang rela
mati untuk pemimpinnya", ujarku. "Tapi jawaban dari pertanyaan itu
adalah seberapa sanggup kita melakukan kekejaman untuk
menakut-nakuti mereka. Terus terang, aku tidak melihat ada diantara kita yang
punya kemampuan untuk itu."
"Dibalik kesederhanaannya, siasat Bukit
Siguntang menyimpan kekejaman yang luar biasa. Tapi saat ini hanya siasat itu
yang bisa membawa kita sampai ke puncak bukit Tambun Tulang untuk menghentikan
Datuk Gampo Cino."
Semua kepala mengangguk pelan menyetujui kata-kata
Cinduamato. Sang pangeran berdiri tegak, tampak mantap dan yakin dengan
dirinya.
“Kekuatan
pasukan Pagaruyung selanjutnya dibagi lima, masing-masing di bawah
pimpinan mamak Salamek dan Empat Dubalang. Bawalah para
petarung untuk membuka jalan dari arah utara, tenggara, barat daya, barat laut
dan timur laut. Kita hindari arah yang biasa karena besar kemungkinan lawan
sudah memasang jebakan di tempat-tempat itu. Gunakan cara yang sudah kita latih untuk saling menyampaikan berita. Saat jalur utama sudah terbuka,
pasukan Binuang akan naik menyerbu langsung ke pusat kekuatan lawan.
"Kita
berangkat besok pagi dan berhenti sejarak setengah hari perjalanan dari kaki
bukit. Untuk menjaga kerahasiaan siasat ini, aku akan memberikan perintah saat
fajar pada hari penyerangan.”
“Siap
melaksanakan titah!”, jawab kelima orang panglima serentak.
“Saya
ada pertanyaan", kata Tuan Gadang. "Darimana Rangkayo tahu kisah
sebenarnya siasat Bukit Siguntang?"
Semua menatapku, itu pertanyaan yang sudah hendak
mereka lontarkan sejak tadi. Aku tersenyum pada Tuan Gadang. Aku cukup kenal
siapa dirinya dari catatan mendiang ayahku. Tampaknya mereka dulu berkawan
cukup akrab.
"Mungkin saya hanya mengarang kisah tambahan tadi supaya terdengar lebih menyeramkan, Tuan", elakku. "Saya yakin
setelah kita kita semua bisa mengarang kisah kita sendiri tentang siasat Bukit
Siguntang."
Tuan Gadang mengangguk paham, bahwa aku tidak akan
menceritakan semuanya. Aku hanya menceritakan apa yang boleh didengar oleh
orang-orang ini.
Pertemuan selesai, jadi kukatakan pada Cinduamato
bahwa aku harus kembali ke pasukanku kalau tidak ingin dihukum si panglima
gadis.
"Apakah kau tahu jalan ke pasukanmu? Aku yakin
kau akan tersesat sampai ke Batipuh kalau tidak diantar Malin Dewa."
"Kau tunjukkan saja arahnya. Aku tidak suka
menjadi pusat perhatian karena berjalan berdua dengan Tuan Mudo."
"Sudah kubilang jangan terlalu perasa. Para
prajurit itu melihat ke arahku."
Aku
memisahkan diri ke kanan dan orang-orang itu mengikuti aku dengan mata mereka.
Cinduamato tertawa melihatku jengkel.
“Begini
saja”, katanya. “Akan kusediakan sebuah ruangan untukmu mengeram sampai besok
pagi sehingga kau tidak perlu jadi perhatian orang banyak.”
"Bagian
mana dari kata-kataku tentang panglima pemarah yang tidak kau pahami? Dia sudah
jengkel karena aku harus ada dalam pasukannya, apakah harus ditambah dengan
aku tidak ada dalam pasukannya?"
“Mayang
jengkel setelah kejadian di rumah kakakmu. Seumur hidup belum pernah ada yang mengusir
Salamek Panjang Gombak, kakakmu-lah yang pertama. Kalau kau tidak senang berada
di bawah perintahnya, sebaiknya kau bergabung dengan pasukanku."
"Kau
punya pasukan sendiri? Kupikir kau panglima tertinggi."
"Pasukan
Binuang ada dibawah perintah langsung dariku. Kau sepertinya cocok membantuku
menggembalakan beberapa ekor kerbau."
Dia memberi isyarat agar aku mengikutinya berjalan menuju tempat pasukanku mendirikan kubu pertahanan. Serta merta para anggota bekas pasukanku berdiri tegak saat Cinduamato menghampiri. Mayang melirik tak senang ke arahku, mungkin dia berpikir aku sudah mengadu.
Dia memberi isyarat agar aku mengikutinya berjalan menuju tempat pasukanku mendirikan kubu pertahanan. Serta merta para anggota bekas pasukanku berdiri tegak saat Cinduamato menghampiri. Mayang melirik tak senang ke arahku, mungkin dia berpikir aku sudah mengadu.
“Bagaimana
keadaan kalian?”, tanya Cinduamato.
“Baik,
Tuan Mudo!”, jawab mereka bersemangat.
“Bagus. Tetap
ikuti perintah panglima masing-masing, jangan bertindak sendiri-sendiri. Kalau ada yang kalian butuhkan, beritahu panglima kalian.
Mayang, Alang aku tarik dari pasukanmu. Besok pagi-pagi sekali kita bergerak.
Siapkan pasukanmu sebaik-baiknya.”
“Baik,
Tuan Mudo.”
“Aku
perlu mengambil beberapa barang”, kataku.
“Cepatlah”,
kata Cinduamato.
Aku
cuma punya satu buntalan sehingga Cinduamato jengkel karena aku lama sekali.
“Kau
macam perempuan saja, lama sekali berbenah”, tukasnya. “Apa bedakmu hilang?”
Para
prajurit dan panglima gadis mereka tertawa. Aku
dan Cinduamato berjalan kembali ke rumah gadang. Dia menunjukkan ruanganku yang berada di tepat sebelah
ruangannya.
“Seperti ruangan perempuan”, kataku.
“Sebelumnya
ini memang ruangan putri Datuk Indomo.”
“Kau
tidak perlu melakukan ini. Aku sependapat dengan uda Magek, kita tidak boleh
merepotkan semua orang dalam urusan ini.”
“Aku
mengharapkan yang terbaik darimu dan sebagai balasannya aku memberi yang
terbaik.”
“Yang
kulakukan ini sudah menjadi tugasku.”
“Apakah
kalau kau akan tetap membantuku jika kau bukan keturunan Sang Sapurba?”
“Aku
tidak akan ada disini kalau aku bukan keturunan Sang Sapurba.”
Dia
mendekatkan kepalanya sambil menoleh sekeliling, memastikan tidak ada yang
mendengar pembicaraan kami.
“Aku
tidak melihat pedang Sumbing 99 bersamamu”, bisiknya.
“Curo
Si Manjokini dan keris Si Ceti Muno dipegang oleh kakakku.”
“Magek
Tonjang?”
Aku
tertawa. “Tentu saja bukan. Dia cuma kakak angkat.”
Cinduamato
kaget. “Kau punya kakak? Ada keturunan lain dari Sang Sapurba?”
“Tentu
saja”, sahutku. “Apa kau pikir Sang Sapurba tidak bisa punya banyak keturunan?”
“Bukan
begitu maksudku”, jawabnya geli. “Kupikir cuma kau seorang keturunannya di
negeri ini, mengingat cuma kau yang datang kemari.”
“Kakakku
tidak akan meninggalkan pulau kalau urusannya tidak penting. Dia kepala
keluarga. Kami lebih membutuhkan dia disana ketimbang disini.”
“Bisakah
aku bertemu dengan kakakmu? Eh, siapa namanya?”
“Yang
Dipertuan Nila Pahlawan. Seperti yang kukatakan tadi, hanya urusan yang sangat
penting yang bisa membuat kakakku keluar dari pulau.”
“Urusan
macam apa itu?”
“Aku
tidak tahu. Bisa kau bayangkan sendiri urusannya macam apa kalau perang ini
saja tidak dianggap penting oleh kakakku.”
Cinduamato
mengangguk-angguk. “Bagaimana kalau kita berlatih sebentar?”
“Apa
maksudmu?”
“Berlatih,
bermain silat. Ayo.”
Dia
sudah berjalan mendahuluiku. Mau tak mau aku mengikutinya menuju tengah
lapangan luas di depan rumah gadang, Sedemikian luasnya lapangan itu
sampai-sampai pasukan Pagaruyung dapat dengan lega mendirikan kubu mereka di
sekelilingnya. Orang-orang langsung memusatkan perhatian pada kami yang berdiri
tegak berhadapan.
“Agar
jelas maksudnya, apakah kau menantangku bertarung?”
“Kau
bisa bilang begitu, Jaga serangan!”
Dia
maju cepat sekali sambil melontarkan serangkaian pukulan. Aku berpindah tempat
mengelakkan serangannya.
“Kau
gila!”, teriakku. “Kita di depan orang banyak.”
“Kau
jaga saja seranganku.”
Aku
berpindah beberapa kali tapi dia bisa menjaga irama serangannya dan tetap
menempel padaku. Tendangan dan pukulannya terus mencecar dengan ganas,
mendesing tajam membelah teriknya sinar matahari sore. Hawa panas berbau harum ciri
khas silat istana Pagaruyung melapisi seluruh gerakannya, menyergap ruang pernafasanku. Pangeran muda ini
bersungguh-sungguh menangtangku bertarung sehingga aku tidak punya pilihan
selain melayani serangannya.
Sampai
sejauh ini Cinduamato sama sekali tidak bisa menyentuhku. Gerakannya masih
belum cukup cepat untuk mengikuti ilmu Langkah Gaib. Tapi dia terus menempel
seperti lintah dan sergapan hawa saktinya benar-benar membuat nafasku sesak.
Awalnya
dia menyerangku dengan jurus-jurus khas istana Pagaruyung yang kukenal baik.
Jurus-jurus itu adalah dasar ilmu silat istana yang diciptakan dan dikembangkan
oleh Suri Dirajo. Sang Sapurba turut membantu mengembangkan dan menguji
jurus-jurus itu sehingga kami anak keturunannya punya hak untuk ikut
mempelajari. Aku kenal baik Delapan Belas Jurus Mahadewa dan bisa memainkannya
dengan lebih ganas. Tapi baru enam jurus dia menyerangku, ilmu silatnya
berubah. Aku sama sekali tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkannya meski aku
tetap bisa membaca arah serangannya.
“Sudah
kuduga kau mengenal Delapan Belas Jurus Mahadewa", ujarnya, "Tapi yang
kumainkan ini pasti kau tidak mengenalnya. Ini ilmu silat yang diturunkan
ayahku, Tiga Belas Jurus Pengguncang Jagad. Yang kumainkan sekarang adalah
jurus pertama, Jagad Tunduk Di Kaki Sang Raja.”
Cinduamato
menggempur kedudukanku. Hanya karena aku tidak memainkan jurus dengan membuka
kuda-kuda maka dia tidak bisa secara langsung mengarahkan jurusnya.
Setengah
jalan dia mengubah gerakannya karena aku mementahkan jurusnya dengan Langkah
Gaib. Tak kusangka dia merangsek maju lurus-lurus sambil mengemplang pelipiskku
kiri-kanan. Bisa saja aku mengelak dengan Langkah Gaib tapi aku juga ingin tahu
seberapa besar nyali Tuan Mudo Cinduamato. Alih-alih menghindar, aku menyambut
serangannya dengan sodokan siku ke arah ubun-ubung dengan tangan kanan
sementara tangan kiri bersiap menangkis kemplangan di kanan. Cinduamato
memiringkan kepalanya menghindari siku tanpa mengendorkan serangan. Tangan kiri
kujulurkan dengan kepalan terkunci mengincar tengah keningnya. Cinduamato
terkesiap dan menarik pulang semua serangannya sambil mundur memasang kuda-kuda
baru.
"Kau
tidak kenal kata mundur, rupanya."
“Mungkin.
Apa kita sudahi saja main-mainnya?”
“Belum,
aku belum selesai dengan Langkah Gaibmu. Jaga jurus keduaku, Tiga Jagad
Berputar Balik.”
Tiga
rangkaian serangan, kepala, perut, kaki, menggempur keras! Aku mengelak,
Cinduamato mengejar dengan rangkaian serangan yang sama. Serangan berikutnya
dia merubah rangkaian gerakannya menjadi perut, kepala, kaki. Lalu perut, kaki,
kepala. Lalu kepala, kaki, dada. Lalu bahu, punggung, perut. Serangan terbalik-balik
yang dahsyat! Niscaya aku sulit untuk lolos kalau penguasaan Langkah Gaibku
belum pada tingkat yang kumiliki saat ini.
"Jurus
kelima!"
Dia
loncat ke jurus kelima tanpa menyebutkan nama. Mungkin dia merasa aku bisa
membaca gerakannya dengan mengartikan nama jurusnya.
Kulit
lenganku terasa perih karena sambaran hawa sakti. Kulirik tanah di bawah
kakiku, ada bekas seperti sambaran pisau disana. Ini namnaya hebat! Memainkan
hawa sakti dengan cara melontarkannya seperti pisau. Namun tetap saja semua
tidak ada yang mengenai sasaran.
"Delapan!"
Dia
bahkan tidak mau repot menyebutkan kata jurus.
Udara
bergolak, bergetar keras sampai terasa ke anak-anak rambut di lenganku. Rasanya
seperti ada ribuan jarum menusuki sehingga aku harus menguatkan hawa pelindung
dan menambah kecepatan gerak menghindar.
Mendadak
dia berhenti, tapi belum sempat aku menarik nafas, sesuatu yang menakjubkan,
sekaligus mengerikan, terjadi.
Aku masih sedepa mengambang di udara saat empat
sosok Cindumato mendadak muncul mengepungku dari empat penjuru. Seruan penuh
kekaguman bergaung diseluruh lapangan, para prajurit Pagaruyung terkesima
melihat digdayanya Tuan Mudo Cindumato.
Dua Cinduamato menyerang dengan dua jurus yang
berbeda sementara dua lainnya menutup jalan keluarku. Keras dan ganas
serangan ini, menekan habis hawa pelindungku. Dia berhasil memaksaku untuk
memainkan jurus setelah memperlambat Langkah Gaib. Dua Cinduamato meraih lengan
dan mencengkram bahuku sementara dua lainnya mendesak dengan pukulan ke pelipis
dan tendangan ke perut. Aku menarik nafas dan memutarnya di perut. Dalam
sekejapan mata tubuhku bergerak dalam jurus yang mungkin hanya Cindumato dapat
melihatnya, meski dia tidak bisa menahannya.
Keempat Cinduamato menyeringai sebelum
terpelanting.
Seribu
prajurit ditambah tiga ratus orang petarung siap menyerbu ke arahku. Cinduamato
melenting bangkit sambil menghapus keringat di dahinya bersamaan dengan meleburnya
tiga bayangan ke sosok aslinya.
“Sudah
kuduga”, katanya sambil menghampiriku. “Langkah Gaib hanya bisa dibendung
dengan menutup semua jalur udara di sekelilingmu. Semua, karena seujung jarum
celah pun masih bisa kau gunakan untuk lolos.”
“Jurus
warisan Andika Adityawarman sungguh hebat.”
“Baru
kau yang mencoba jurus kesepuluh tadi. Sebagian kecil lawanku tumbang di jurus
kelima, sebagian besar di jurus ketiga. Ini pertarungan main-main paling
berat yang pernah kurasakan. Tapi setidaknya tujuanku tercapai."
"Aku
tidak paham maksud kata-katamu."
"Lihat
ke sekelilingmu. Aku sangat tahu kalau semua orang menilaimu sebagai tukang
bikin masalah. Bahkan para penasehat istana sempat mempertanyakan keputusan
Dang Tuanku menunjukmu sebagai pengawalku. Tapi sekarang semua sudah berubah.
Hari ini, saat ini, di depan mata mereka, ada satu orang yang bisa membuat
pendekarnya pendekar Minangkabau terpelanting."
"Apakah
kau sudah memikirkan apa yang akan terjadi pada titah Dang Tuanku kalau kau tidak hanya sekadar
terpelanting tadi?"
Cinduamato
menyeringai. "Kata orang-orang aku tidak mudah dilukai."
Kuat dugaannku kalau orang
ini ada kelainan di otaknya.
Cinduamato
mengangkat tangan menenangkan pasukannya. "Kurasa kalian sudah melihat
sendiri hasil latihan kami. Kurang dari bilangan jari petarung di Minangkabau yang
punya kemampuan seimbang denganku, terlebih lagi yang bisa menjatuhkanku. Tapi hari
ini ada satu orang yang bisa melakukannya dan dia ada di pihak kita
"Dengarkan
perintahku, wahai prajurit Pagaruyung! Tugas kalian adalah membukakan jalan
untuk aku dan Rangkayo Alang Babega menuju puncak bukit Tambun Tulang. Kami
nanti yang akan menghadapi Gampo Cino di markasnya. Sepekan dari sekarang kita
seret penyamun itu ke hadapan Dang Tuanku!"
Kata-katanya disambut dengan sorak penuh semangat.
Aku benar-benar terkesima. Baru kali ini aku melihat besarnya kepatuhan dan kepercayaan yang diberikan
pada satu orang. Tak terasa aku bersumpah dalam hati untuk melindungi lelaki
ini dengan nyawaku. Apa pun yang terjadi, Cinduamato tidak boleh terluka.
“Makhluk
apapun Gampo Cino itu, akan
kubawa dia ke depan kakimu”, bisikku.
“Aku
tahu”, jawabnya sambil merangkul bahuku.
Bersambung ke Bagian 7.
keterangan istilah:
uwan =
istilah lain panggilan kepada kakak laki-laki
etak =
panggilan kepada istri paman atau perempuan yang sebaya dengan ibu