Tuesday, December 24, 2019

Ksatria Pagaruyung - Bagian 6


Cinduamato berkuda dalam diam. Dia teringat kembali pada percakapan dengan kakaknya malam sebelum berangkat tiga pekan yang lalu. Mereka duduk berdua di anjung tertinggi istana. Hanya sebatang lilin yang menemani, apinya bergoyang pelan ditiup angin. Malam sudah turun dengan sempurna. Di langit purnama empat belas hari menggantung cerah tetapi sinarnya terhalang oleh mendung yang cukup tebal. Di bawah, para prajurit ronda sedang berkeliling. Empat Dubalang terlihat sedang duduk mengawasi dari depan pintu masuk istana. Sudah lama menjadi pertanyaan, apakah keempat orang itu pernah tidur.

“Waktu kecil kita berdua selalu bersembunyi disini kalau sudah melakukan kenakalan dan Bundo menyuruh orang-orang mencari”, kata Dang Tuanku sambil menatap jauh ke arah dusun Pinang Masak. “Kita hanya menyerah setelah badan kita gatal karena debu atau kelaparan. Aku yang selalu mengajak kita menyerah tapi kau selalu menahanku dengan kekeras kepalaanmu.”

“Mendiang ayah akan tertawa lalu membawa kita mandi ke tepian. Aku tidak akan pernah lupa masa kecil kita”, sambung Cinduamato. “Aku yakin tidak ada yang sebahagia kita. Punya seorang ayah yang sangat menyayangi dan dua orang ibu sangat mencintai.”

Dang Tuanku menghirup sedikit nira dari gelasnya. Wajahnya muram dan setiap kali suasana hati sang raja sedang tidak enak, mendung selalu menutupi kawasan Bukit Gombak.

“Banyak hal sudah terjadi sejak ayahanda tiada, kita diasah oleh waktu dan keadaan yang mungkin tidak dialami pangeran-pangeran di negeri lain. Itu adalah harga dari kebesaran yang ayah tinggalkan untuk negeri ini, untuk kita dan seluruh rakyat Minangkabau. Ada orang-orang besar disekeliling kita yang tidak pernah letih mengajari dan membantu kita menjaga dan membangun negeri. Berkat usaha dan keringat mereka sampai detik ini istana masih berdiri tegak. Sungguh besar hutang budi kita pada mereka, dik. Meski kita diberikan kehidupan abadi, tak akan pernah hutang budi itu bisa dilunasi.

“Tapi untuk kali ini kita tidak bisa meminta bantuan mereka. Ini adalah urusan kita, anak-anak ayah. Akan kusembunyikan dimana wajahku saat bertemu ayah nanti kalau kita tidak bisa keluar dari kemelut ini.”

“Sekali ini Mak Uniang Indodewa sudah melampaui batas”, ujar Cinduamato kering. “Semasa ayahanda masih hidup pun dia tidak pernah memandang sebelah mata pada ayahMeski ayah tidak mempermasalahkan itu, tapi masih ada Bundo Kandung dan Bundo Kambang. Darah yang mengalir dalam diri Mak Uniang sama asalanya dengan darah yang mengalir dalam diri Bundo Kandung dan Bundo Kambang. Kenapa dia tega melakukan ini?”

“Banyak penyebabnya dan salah satunya bara dendam yang sepertinya tidak akan pernah padam di dada Mak Uniang. Alam saksiku, kalau tahta ini bisa membuat Mak Uniang menghapuskan dendam lama itu, akan kuberikan semuanya.”

“Aku benar-benar tak mengerti, uwan. Sudah sangat sering aku bertandang ke Ranah Sikalawi. Selalunya penerimaan Mak Uniang dan etek Mirah Dalimo sangat ramah dan terbuka. Rasanya kasih yang mereka berikan padaku tulus dari hati kecil. Tetapi dalamnya hati siapa yang bisa mengajuk.”

Dang Tuanku memutar tubuh menghadap Cinduamato. Cahaya bulan purnama yang memberkas di sela awan membuat sosoknya terlihat menyeramkan. Jarang sekalli Rajo Alam menunjukkan emosinya tetapi setiap kali itu terjadi, siapa pun yang berada di dekatnya akan gemetar. Mata Dang Tuanku berkilat dalam gelap.

“Pahamkan ini, Cinduamato. Aku tidak pernah bertemu dengan Puti Bungsu. Dalam mimpi pun dia tidak pernah datang menyapa. Tapi kamu harus membawanya kemari. Harus, meski nyawamu akan lepas dari badan. Bukan karena aku hendak memperlihatkan pada seluruh rakyat bahwa aku bisa melakukan apa saja tapi karena pertunangan ini adalah amanat ayah dan diiyakan oleh Mak Uniang pada awalnya. Hanya ayah dan Mak Uniang yang berhak memutus. Kita berdua paham bahwa kata putus tidak akan pernah terucap dari mulut Mak Uniang. Jadi inilah jalan yang kupilih agar kewibawaan ayah tidak tercoreng. 
"Bawa Puti Bungsu ke hadapanku untuk kutanyai. Kalau memang dia juga menghendaki putusnya tali pertunangan ini, bagiku tidak mengapa. Itu yang akan kusampaikan jika kelak aku bertemu ayahanda. Setelah itu kau antar dia kembali ke rumahnya.”

Cinduamato menekuk sebelah lututnya di hadapan Dang Tuanku, sikap seorang panglima yang siap menjalankan titah rajanya. “Perintah uwan kujunjung tinggi-tinggi. Nyawaku kusabungkan untuk itu. Aku hanya akan kembali bersama Puti Bungsu. Senyampang aku gagal, tak perlu uwan cari mayatku, tak perlu dibangunkan kuburan untukku.

Dang Tuanku tersenyum sedih. Diraihnya bahu adiknya lalu ditariknya berdiri. “Kemarilah.”

Mereka berpelukan erat. 

“Kita tumbuh besar bersama, dik. Apa yang kumakan, itu pula yang masuk ke dalam mulutmu. Keberuntungan terbesarku adalah memilikimu. Kau belahan jiwaku. Orang boleh bilang Datuk Gampo Cino keturunan jin penguasa lautan. Orang boleh bilang Tiang Bungkuk tidak bisa mati. Tapi kalau mereka melakukan sesuatu pada dirimu, lautan akan kurebus, ranah Sikalawi akan kuratakan dengan tanah,  biar mereka tahu siapa Romandung sebenarnya.”

Dingin sekali kalimat itu diucapkan. Dang Tuanku mengeratkan pelukannya. “Berangkatlah. Kalau kau lebih dulu bertemu ayahanda, sampaikan bahwa aku akan segera menyusul kalian. Umurku tidak akan panjang kalau kau pergi mendahului.

“Tuan Mudo…”
Cinduamato tersentak dari lamunannya. Dubalang Tambahi yang baru saja menyapanya. Tiga dubalang lain berkuda tidak jauh dari Cinduamato, memimpin pasukan masing-masing. Salamek Panjang Gombak berkuda paling depan. Senjatanya yang masih dililit kain hitam tersandang di punggung, hanya ujungnya kelihatan sedikit memantulkan cahaya matahari siang.

“Ada apa?”

“Ada titipan dari Rangkayo Puti Lenggogeni. Barusan disampaikan oleh utusan dari Sungai Tarab.”

Cinduamato menerima selendang putih bersulam indah pemberian tunangannya. Wajah manis lembut Puti Lenggogeni melintas dalam ruang ingatannya. Dia ingat saat pertama kali bertemu Puti Lenggogeni. Gadis itu muncul menghidangkan penganan saat dia bertandang ke Sungai Tarab untuk mengikuti pelajaran tata pemerintahan dari Datuk Bandaro Putiah bersama para pemuda lain dari berbagai negeri. Hanya sekilas tatapan mereka bertemu tetapi keduanya merasa bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi pasangan. Meski sesudahnya Cinduamato masih sering ke Sungai Tarab, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Puti Lenggogeni  dia tidak tahu bahwa diam-diam gadis itu sering memerhatikan dirinya dari jauh. Mungkin sekarang mereka tidak akan pernah menjadi suami istri tapi di dalam hati keduanya sudah terikat janji yang tidak akan pernah terputus.

Cinduamato melepaskan tutup kepalanya dan mengganti dengan selendang itu. Sekatika dia tampak menjadi lebih sangar. Ujung selendang putihnya melambai ditiup angin. Serentak para prajuritnya mengikuti mengikat kepala mereka dengan kain putih tanda tulus hati yang diberikan keluarga, istri atau tunangan masing-masing. Sungguh pemandangan yang menggetarkan kalau dilihat dari ketinggian.

Di antara lautan warna putih, tampak jelas satu titik hitam diantara barisan pasukan.


“Kau tidak punya ikat kepala putih?”, tanya prajurit yang berkuda di sampingku.

Aku memerhatikan sekeliling dan menyeringai saat melihat cuma aku satu-satunya yang mengenakan ikat kepala hitam dari destar pemberian Nilam.

“Apakah penting?”

“Yah... setidaknya kau tidak lain sendiri. Lagipula… ah, sudahlah. Siapa namamu?”

“Alang. Kau siapa?”

“Aku Dunir. Kau tahu, kita beruntung tergabung dalam pasukan Tuan Salamek Panjang Gombak.”

Aku menyeringai teringat raut wajah Salamek Panjang Gombak saat diusir Magek Tonjang. “Iyakah? Kenapa begitu”
“Kudengar kita baru akan menyerbu setelah jalan dibukakan oleh para petarung. Kita adalah pasukan penuntas, bersama pasukan Empat Dubalang. Kau lihat kerbau-kerbau itu? Kita akan menyerbu bersama mereka, pasukan Binuang.”

“Kau pahamkah artinya penuntas? Entah musuh yang tuntas, atau kau yang tuntas.”
Dunir terlihat bergidik saat menyadari kebenaran kata-kataku. “Kau benar.... Tapi setidaknya kita berada dibawah pimpinan kepala pengawal istana dan panglima paling hebat di Minangkabau. Kurasa kita tidak akan mati semudah itu.”

“Panglima paling hebat di Minangkabau sekali pun tidak bisa menjamin nyawanya tidak akan lepas dalam perang ini, konon lagi dia menjamin nyawa pasukannya. Karena kau orang pertama yang menyapaku dalam pasukan ini, baik kuberitahu kau cara supaya selamat dalam perang. Apa kau mau dengar?"
Dunir dan beberapa orang disekelilingku mulai memperhatikan, walaupun jelas mereka tampak sangsi.
"Kalau tidak mau, ya sudah. Aku tidak keberatan selamat sendiri."
"Eh, mau, mau...", ujar seorang prajurit di kanan Dunir.
"Cuma kau sendiri? Kemarilah, biar kubisikkan ke telingamu."
Serentak yang lain langsung berkata mau sehingga bagian kami menjadi pusat perhatian yang lain. Aku menyeringai.
"Ada 2 cara untuk bisa selamat dalam perang. Yang pertama, pulang, jangan ikut dengan orang-orang ini. Kalau yang kalian inginkan adalah hidup, bukan kemuliaan, kesana arah yang kalian tuju", tunjukku ke arah yang berlawanan. "Tapi kalau kalian menginginkan kemuliaan, maju! Nyawa kalian, nyawa kita bisa tuntas dalam perang ini tapi nama dan kemuliaan kita akan selamat selamanya."
"Kalau itu aku sudah tahu!", tukas Dunir. "Kau hanya meniru Tuan Mudo!"
Aku seharusnya sudah menduga kalau Cinduamato akan mengatakan hal itu untuk membakar semangat pasukannya. 
"Tapi apakah Tuan Mudo mengatakan bahwa kawan di kiri kanan depan belakang adalah tempat kita menambatkan nyawa yang selembar ini? Apakah Tuan Mudo mengatakan bahwa kalau kita bisa saling menjaga punggung maka kita tidak mudah dikalahkan?”, tanyaku sambil mengutip salah satu kalimat di dalam kitab perang Sang Sapurba.
"Tidak seperti itu...", gumam prajurit lain. "Tapi kalau aku menjaga punggungmu, kau menjaga punggung dia, lalu dia menjaga punggung yang lain, lalu siapa yang menjaga punggungku?"
"Aku menjaga punggungmu, punggungnya, punggung dia, dia, dia... aku menjaga punggung semua orang. Satu-satunya balasan yang kuminta dari kalian adalah kalau kelak kalian kembali dengan selamat, tolong ceritakan pada anak-anak negeri ini bahwa pasukan Tuan Mudo bertempur dengan gagah berani di bukit Tambun Tulang."
Kata-kataku menusuk telah di hati mereka. Para prajurit itu tampak malu dan merubah sikap mereka. Dunir berkuda dengan punggung tegak di sampingku, menyelaraskan derap kudanya dengan kudaku. Lalu para prajurit lain ikut menyelaraskan kuda mereka sehingga segera saja pasukan tempat aku berada sudah menjadi yang paling tertib.

Sampai di Saruaso pasukan diistirahatkan. Dunir mengatakan bahwa jarak dari negeri ini sampai ke bukit Tambun Tulang adalah lima hari perjalanan. Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku kenapa kita tidak berkubu di titik yang lebih dekat. Tiba-tiba ada seruan agar kami, pasukan yang tergabung dibawah pimpinan Salamek Panjang Gombak, berkumpul di sisi timur lapangan. Berhubung aku tidak tahu mana timur mana selatan jadi aku mengekori Dunir. Rupanya si gadis kawan Jombang yang memerintahkan kami berkumpul.

“Jangan ada yang lengah karena kita sudah sangat dekat dengan bukit Tambun Tulang”, katanya sambil melirikku. “Kesampingkan semua urusan pribadi dan pusatkan seluruh perhatian pada perang. Aku tidak ingin melihat ada prajurit yang merusak pasukanku.”

Karena panglima gadis itu berkali-kali melirikku maka Dunir bertanya kenapa aku terus menerus dilirik.

“Dia pernah diusir kakakku dari rumah kami”, bisikku. “Mungkin dia masih tersinggung.”

“Benarkah? Hebat betul kakakmu berani mengusir putri Tuan Salamek.”

“Tuan Salamek itu juga diusir kakakku.”

Dunir melongo. “Tidak mungkin… Kamu jangan mengada-ada…”

Panglima kami berhenti bicara ketika ada prajurit dari arah rumah gadang datang berlari mendekati tempat kami berkumpul. Prajurit itu membisikkan sesuatu yang membuat wajah panglima gadis berubah keras. Tatapannya mencorong bagai harimau ke arahku.

“Yang bernama Alang diperintahkan menghadap Tuan Mudo Cinduamato”, katanya dingin.

“Kenapa bukan Cinduamato yang datang menghadapku?”, balasku sepolos mungkin.

Semua melotot menatapku. Tapi tidak dengan prajurit utusan itu. Sepertinya dia sudah dipersiapkan untuk mendengar kata-kataku barusan.
“Pesan Tuan Mudo, sejak dulu adalah kewajiban Penjaga Mahkota yang datang menghadap Penjaga Tahta”, katanya.

Aku menyeringai. Rupanya Cinduamato sudah memastikan siapa aku sebenarnya. Si panglima gadis mengikuti dengan ekor matanya saat aku memisahkan diri dari pasukan. Prajurit itu mengantarku sampai depan tangga rumah gadang kediaman Datuk Indomo, ke hadapan seorang pemuda tampan langsing yang sudah menunggu disana.

“Salam sejahtera, Rangkayo”, sapa pemuda itu. “Saya Malin Dewa, putra Datuk Indomo. Silakan mengikuti saya.”

Aku mengucapkan terima kasih pada prajurit yang mengantarku lalu berjalan bersama Malin Dewa. Dia membawaku melintasi ruangan utama rumah gadang menuju ke depan pintu salah satu ruangan di bagian kanan. Malin Dewa mengetuk tiga kali.

“Tuan Mudo, Rangkayo Alang sudah disini”, katanya.

Pintu dibuka. Cinduamato tersenyum padaku. “Terima kasih, Malin. Masuklah, Alang.”

Aku masuk, pintu ditutup di belakangku. Aku menatap seisi ruangan dan tertawa dalam hati. Yang juga hadir dalam ruangan itu adalah Tungku Tigo SajaranganTuan Gadang, Salamek Panjang Gombak dan Empat Dubalang. Cinduamato memberi isyarat agar aku duduk di salah satu kursi. Aku tidak langsung duduk.

“Aku ingat pernah hampir diusir dari pertemuan semacam ini, Kalau tidak salah namanya pertemuan kalangan tertentu”, sindirku polos.
Memerah muka para bangsawan terhormat itu. Cinduamato tersenyum miring.

Jangan terlalu perasa. Duduklah, Alang, ada yang aku perlu tanyakan padamu.”

“Kau dikelilingi para cerdik pandai negeri ini dan masih perlu bertanya padaku?”, tanyaku sambil duduk. 

"Apakah yang bisa kau sampaikan pada kami tentang siasat Bukit Siguntang?"
Aku terkesiap sesaat mendengar pertanyaan itu. Senyatanya aku tidak menyangka Cinduamato akan menanyakannya. Permasalahannya aku tidak tahu apakah dia menanyakan itu karena pengetahuannya yang terbatas atau dia hanya ingin memastikan sebuah kabar angin.
Siasat Bukit Siguntang sudah lama menjadi cerita dikalangan para panglima perang. Hanya saja tidak pernah ada yang tahu apakah siasat itu benar adanya atau hanya cerita kosong. Tidak ada yang pernah menyatakan kebenaran atau kebohongan kisah itu. Pesan kakak lelakiku saat mengajarkan siasat ini adalah agar aku sedapat mungkin menghindar dari pertanyaan ini.
"Tuan Mudo, apakah andika ingin mendengar kisah lengkap perang Bukit Siguntang?", pancingku.
"Aku sudah menamatkan kisah itu berkali-kali, Alang. Yang aku ingin dengar adalah siasat itu sendri. Kurasa ini adalah siasat Bukit Siguntang sangat tepat digunakan untuk menyerang bukit Tambun Tulang."
"Apakah andika bermaksud mempertaruhkan nyawa seluruh pasukan atas dasar kisah dalam buku? Sungguh kasihan nasib kami yang menjadi prajurit Pagaruyung."
Salamek Panjang Gombak sampai berdiri dari duduknya mendengar bicaraku. “Jaga sikapmu, buyung! Ini rumah Datuk Indomo, bukan rumah Magek Tonjang…”
“Tolong semua bisa mengendalikan diri”, kata Cinduamato tegas. “Tuan-tuan yang saya muliakan, izinkan saya yang menangani urusan ini.”
Hebat! Yang bicara barusan adalah Cinduamato sebagai wakil Rajo Alam. Artinya dia memang sudah tahu bahwa siasat Bukit Siguntang adalah nyata. Sepertinya Tuan Mudo punya banyak pembantu yang memberitahukannya berbagai hal yang benar diantara banyak kabar angin.
“Kalau kau belum melihat masalah yang kuhadapi, biar kuceritakan padamu. Sampai dengan hari ini tidak seorang pun yang punya gambaran seperti apa bukit Tambun Tulang itu. Aku selalu melewati jalan lain jika hendak ke Ranah SIkalawi. Kami telah mengirim puluhan mata-mata tapi tidak ada laporan mata-mata karena mereka semua tidak ada yang kembali. Jadi bisa kau lihat, kami memerlukan siasat yang matang untuk mengatasi kelemahan dari segi pengetahuan akan medan perang.”

"Tuan Mudo, aku yakin tidak ada ilmu siasat perang yang belum andika pelajari..."
"Semua sudah kutamatkan, kecuali siasat Bukit Siguntang. Bagaimana aku akan mempelajarinya kalau ahli siasat itu sudah tidak ada dan kitabnya tidak ada di rumahku?"
Aku menyampaikan penolakan terakhirku. "Tapi kenapa siasat Bukit Siguntang? Kenapa bukan siasat lain?"
Cinduamato terkekeh pelan. "Aku pun bisa mengatakan hal yang sama tentangmu, Alang. Dari semua siasat perang yang kau kuasai, apakah menurutmu ada siasat lain yang dapat membawa kemenangan untuk kita selain siasat Bukit Siguntang?"
Kurasakan aliran keringat dingin di tulang belakangku. Cinduamato ternyata bukan hanya sudah tahu siapa aku , tetapi dia pun tahu apa yang bisa aku lakukan!
Hadirin yang lain kini menatap lekat padaku. Mereka tentu tidak menyangka Cinduamato akan memujiku seperti barusan. Di mata mereka tentunya aku hanya anak muda kurang ajar yang amat tidak pantas duduk dalam satu ruangan bersama para bangsawan Minangkabau. Seakan-akan kehadiranku dapat mengotori udara yang mereka hisap.
"Aku dan Dang Tuanku butuh bantuanmu, Alang."
Kalau ada yang kurang ajar dalam ruangan ini, Cinduamato-lah orangnya! Berani-beraninya dia menjual nama kakaknya karena dia tahu aku tidak dapat menolak titah Rajo Alam.
"Tuan Mudo dan tuan-tuan yang mulia", ujarku sedatar mungkin, "Semua kisah tentang siasat Bukit Siguntang bermuara pada dua hal: darah dan kematian. Orang yang menciptakan siasat ini pun hanya dua kali menggunakannya dan di kali kedua dia bersumpah untuk tidak pernah menggunakannya lagi. Siasat Bukit Siguntang adalah siasat iblis, Tuan Mudo."
Ketika Sang Sapurba menundukkan benteng tak terkalahkan di puncak bukit Siguntang, namanya langsung berkibar diantara para panglima perang Iskandar Zulkarnain. Sang Raja diraja memanggil panglimanya pulang karena ada benteng musuh yang sudah berbulan-bulan tidak dapat ditaklukkan. Sang Sapurba, dengan siasat Bukit Siguntang, menaklukkan benteng itu dalam satu malam! Itu adalah kali kedua dan terakhir siasat itu digunakan. Sang Sapurba bersumpah untuk tidak pernah lagi menggunakan siasat itu selamanya setelah melihat kehancuran yang dihasilkannya. Seluruh isi benteng habis dibantai tanpa sisa dengan korban hanya beberapa belas orang dari pihak Sang Sapurba. Konon butuh waktu sampai berbulan-bulan untuk membersihkan benteng itu dari darah dan mayat.
Meski kami para keturunannya tidak dilarang menggunakan pengetahuan perangnya, kami pun sepakat untuk menghindarinya.  Aku akan menjadi yang pertama melanggar sumpah leluhur.
“Lawan yang kita hadapi juga iblis”, tukas Salamek Panjang Gombak.

Aku tidak menanggapinya. Aku ingin dengar jawaban dari mulut Cinduamato untuk memastikan bahwa dia yakin memilih siasat ini. Dia mengemban tugas yang amat berat yang dapat membuatnya membekukan hati untuk menyapu bersih semua yang menghalangi. 
Cinduamato memutar tubuh menghadapku dan menatap lurus ke arah mataku. “Kita berdua punya tugas yang harus ditunaikan. Aku tidak akan memaafkan diriku kalau sampai aku gagal dalam tugasku.”

Betul-betul kurang ajar pangeran ini!

Dia menyudutkanku dengan mengatakan itu. Kalimatnya juga bisa diartikan sebagai kau tentu juga tidak akan dimaafkan kalau sampai gagal menjalankan tugasmu yang ada hubungannya dengan diriku.

Aku berdiri dan menatap semua orang dalam ruangan. “Aku berlepas diri kalau ada diantara kita yang terkena tulah kutukan siasat ini di kemudian hari.”
Karena tidak ada yang menanggapi ucapanku maka kuartikan mereka semua siap menerima apapun yang akan terjadi kelak.
Aku mengheningkan rasa, meminta izin pada kakakku untuk membuka salah satu rahasia kelam keluarga kami. Detak rasa yang datang dari kakakku kemudian membuatku sedikit lebih tenang karena aku diberikan izin untuk menggunakan siasat Bukit Siguntang. 

"Seperti yang disebutkan dalam berbagai kisah", ujarku memulai. "Siasat Bukit Siguntang diciptakan saat penyerbuan ke bukit Siguntang. Lima ratus pasukan yang mempertahankan bukit Siguntang habis seluruhnya dibantai kurang dari seratus pasukan penyerbu. Kemenangan yang gilang gemilang harus dibayar dengan harga yang teramat mahal. Sebagian besar dari pasukan penyerbu menjadi gila sasar. Tidak ada jiwa yang sanggup menahan tekanan sedemikian besar setelah membunuh begitu banyak dan begitu sering dalam waktu singkat."
"Kalau kau bermaksud menakut-nakuti kami, itu tidak akan berhasil", kata salah seorang dari Empat Dubalang dengan nada mengejek.
"Kalau kalian takut hanya karena kisah dalam buku, salah besar membawa kalian kemari."
Cinduamato mengangkat tangannya agar kami tidak baku hantam. "Jadi apa yang bisa kau ceritakan pada kami?"
"Ada tiga syarat keberhasilan siasat ini. Syarat pertama adalah membuat medan pertempuran layaknya bukit Siguntang."
"Seperti apa itu bukit Siguntang?", tanya Datuk Indomo. "Apakah Rangkayo pernah mendatanginya?"
"Ini kali pertama saya keluar dari pulau tempat saya lahir dan besar, Datuk. Untuk sampai ke ruangan ini pun saya harus diantar agar tidak tersesat. Konon lagi bukit Siguntang, saya tidak tahu seperti apa bentuknya."
"Jadi bagaimana caranya kita membuat medan pertempuran kalau kita tidak tahu seperti apa itu bukit Siguntang?"
"Menurut Datuk, kalaupun ada yang pernah naik ke bukit Siguntang, siapa yang bersedia merubah bukit Tambun Tulang menjadi seperti bukit Siguntang?"
Datuk Indomo, walaupun mungkin dia tersinggung dengan ucapanku, tidak menampakkan kesan apa pun di wajahnya. Dia tetap kelihatan sinis dan penuh pertimbangan. 
"Menurutku syarat pertama sudah terpenuhi", lanjutku, "Kita tidak tahu keadaan di bukit Tambun Tulang sama seperti ketidak tahuan kita pada keadaan di bukit Siguntang."
Cinduamato tampak berkilat-kilat matanya, Tuan Gadang kulihat sedikit terangkat ujung bibirnya. Kurasa mereka langsung paham kemana arah bicaraku.
"Apa syarat yang kedua?", tanya Cinduamato.
"Dalam kisah-kisah disebutkan bahwa pasukan yang bertahan di bukit Siguntang jumlahnya sekitar lima ratus orang dan pasukan penyerbu adalah sekitar seratus orang..."
"Kita membawa seribu orang!", potong salah seorang dubalang sambil berdiri penuh semangat. "Aku yakin para penyamun itu tidak sampai lima ribu orang."
"Kalau begitu mari kita serbu!", sindirku. 
"Ya, Tuan Mudo, mari..."
Dubalang itu tampak salah tingkah saat Cinduamato menegur dengan lirikannya. Dia duduk perlahan dengan kepala agak ditundukkan.
"Dari seratus orang pasukan penyerbu, hanya dipilih lima orang untuk mendampingi panglima tertinggi mereka sebagai pasukan pembuka jalan. Kenapa hanya lima?"
"Apakah mungkin karena yang berlima itu adalah yang paling tinggi ilmi silatnya?", tebak Tuan Gadang.
"Salah satunya, tapi yang sebenarnya adalah kelima orang itu adalah lima orang kakak beradik kandung. Mereka berlima punya cara rahasia untuk menyampaikan berita satu dengan yang lain. Dengan demikian, panglima tertinggi mendapatkan berita dari lima sumber yang berbeda untuk membantunya mengambil keputusan perang."
"Syarat itu sudah terpenuhi", kata Cinduamato mantap. "Ada mamak Salamek dan Empat Dubalang. Apa syarat berikutnya?"
"Ini syarat paling berat: panglima tertinggi tidak hanya memerintakan prajuritnya untuk membantai seluruh lawan, tapi dia yang paling depan saat melakukannya."
Seisi ruangan langsung senyap.
"Bagian ini tidak pernah diceritakan dalam kitab mana pun. Sang panglima dengan sengaja mencari pasukan lawan dan membantai mereka dengan kejam. Dia dengan sengaja hanya menyisakan satu orang agar orang itu lari melapor ke pasukannya yang lain. Perintah yang sama diberikan kepada lima pembantunya. Mereka mengikuti orang-orang yang dibiarkan hidup itu sampai ke tempat kelompok pasukan lain lalu membunuh mereka semua, menyisakan satu orang. Begitu seterusnya. Saat pasukan bertahan menyadari hal ini, semua sudah sangat terlambat. Pasukan utama mereka dibantai dalam sekejap. Kejar mengejar dan pembunuhan tanpa henti, semua tuntas dalam satu malam." 
Kali ini dapat kulihat kengerian terbayang di wajah mereka semua, selain pada wajah Cinduamato. Bukan karena dia sangat pemberani dan tak kenal takut tapi dia sudah menetapkan pilihannya, Aku menduga dia sedang memikirkan bagaimana caranya menerapkan siasat Bukit Siguntang tetapi tidak dalam tingkat kekejaman seperti yang sebenarnya.
"Bagaimana kalau lawan memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan?", tanya Tuan Gadang. "Bagaimana cara kita menemukan pasukan utama mereka kalau tidak ada yang membawa kita kesana?"
"Aku belum pernah bertemu penyamun yang rela mati untuk pemimpinnya", ujarku. "Tapi jawaban dari pertanyaan itu adalah seberapa sanggup kita melakukan kekejaman untuk menakut-nakuti mereka. Terus terang, aku tidak melihat ada diantara kita yang punya kemampuan untuk itu."
"Dibalik kesederhanaannya, siasat Bukit Siguntang menyimpan kekejaman yang luar biasa. Tapi saat ini hanya siasat itu yang bisa membawa kita sampai ke puncak bukit Tambun Tulang untuk menghentikan Datuk Gampo Cino."
Semua kepala mengangguk pelan menyetujui kata-kata Cinduamato. Sang pangeran berdiri tegak, tampak mantap dan yakin dengan dirinya.
“Kekuatan pasukan Pagaruyung selanjutnya dibagi lima, masing-masing di bawah pimpinan mamak Salamek dan Empat Dubalang. Bawalah para petarung untuk membuka jalan dari arah utara, tenggara, barat daya, barat laut dan timur laut. Kita hindari arah yang biasa karena besar kemungkinan lawan sudah memasang jebakan di tempat-tempat itu. Gunakan cara yang sudah kita latih untuk saling menyampaikan berita. Saat jalur utama sudah terbuka, pasukan Binuang akan naik menyerbu langsung ke pusat kekuatan lawan.
"Kita berangkat besok pagi dan berhenti sejarak setengah hari perjalanan dari kaki bukit. Untuk menjaga kerahasiaan siasat ini, aku akan memberikan perintah saat fajar pada hari penyerangan.”

“Siap melaksanakan titah!”, jawab kelima orang panglima serentak.

“Saya ada pertanyaan", kata Tuan Gadang. "Darimana Rangkayo tahu kisah sebenarnya siasat Bukit Siguntang?"
Semua menatapku, itu pertanyaan yang sudah hendak mereka lontarkan sejak tadi. Aku tersenyum pada Tuan Gadang. Aku cukup kenal siapa dirinya dari catatan mendiang ayahku. Tampaknya mereka dulu berkawan cukup akrab. 
"Mungkin saya hanya mengarang kisah tambahan tadi supaya terdengar lebih menyeramkan, Tuan", elakku. "Saya yakin setelah kita kita semua bisa mengarang kisah kita sendiri tentang siasat Bukit Siguntang."
Tuan Gadang mengangguk paham, bahwa aku tidak akan menceritakan semuanya. Aku hanya menceritakan apa yang boleh didengar oleh orang-orang ini. 
Pertemuan selesai, jadi kukatakan pada Cinduamato bahwa aku harus kembali ke pasukanku kalau tidak ingin dihukum si panglima gadis. 
"Apakah kau tahu jalan ke pasukanmu? Aku yakin kau akan tersesat sampai ke Batipuh kalau tidak diantar Malin Dewa."
"Kau tunjukkan saja arahnya. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian karena berjalan berdua dengan Tuan Mudo."
"Sudah kubilang jangan terlalu perasa. Para prajurit itu melihat ke arahku."
Aku memisahkan diri ke kanan dan orang-orang itu mengikuti aku dengan mata mereka. Cinduamato tertawa melihatku jengkel.

“Begini saja”, katanya. “Akan kusediakan sebuah ruangan untukmu mengeram sampai besok pagi sehingga kau tidak perlu jadi perhatian orang banyak.”

"Bagian mana dari kata-kataku tentang panglima pemarah yang tidak kau pahami? Dia sudah jengkel karena aku harus ada dalam pasukannya, apakah harus ditambah dengan aku tidak ada dalam pasukannya?"
“Mayang jengkel setelah kejadian di rumah kakakmu. Seumur hidup belum pernah ada yang mengusir Salamek Panjang Gombak, kakakmu-lah yang pertama. Kalau kau tidak senang berada di bawah perintahnya, sebaiknya kau bergabung dengan pasukanku."
"Kau punya pasukan sendiri? Kupikir kau panglima tertinggi."
"Pasukan Binuang ada dibawah perintah langsung dariku. Kau sepertinya cocok membantuku menggembalakan beberapa ekor kerbau."
Dia memberi isyarat agar aku mengikutinya berjalan menuju tempat pasukanku mendirikan kubu pertahanan. Serta merta para anggota bekas pasukanku berdiri tegak saat Cinduamato menghampiri. Mayang melirik tak senang ke arahku, mungkin dia berpikir aku sudah mengadu.
“Bagaimana keadaan kalian?”, tanya Cinduamato.

“Baik, Tuan Mudo!”, jawab mereka bersemangat.

“Bagus. Tetap ikuti perintah panglima masing-masing, jangan bertindak sendiri-sendiri. Kalau ada yang kalian butuhkan, beritahu panglima kalian. Mayang, Alang aku tarik dari pasukanmu. Besok pagi-pagi sekali kita bergerak. Siapkan pasukanmu sebaik-baiknya.”

“Baik, Tuan Mudo.”

“Aku perlu mengambil beberapa barang”, kataku.

“Cepatlah”, kata Cinduamato.

Aku cuma punya satu buntalan sehingga Cinduamato jengkel karena aku lama sekali.

“Kau macam perempuan saja, lama sekali berbenah”, tukasnya. “Apa bedakmu hilang?”

Para prajurit dan panglima gadis mereka tertawa. Aku dan Cinduamato berjalan kembali ke rumah gadang. Dia menunjukkan ruanganku yang berada di tepat sebelah ruangannya.

“Seperti ruangan perempuan”, kataku.

“Sebelumnya ini memang ruangan putri Datuk Indomo.”

“Kau tidak perlu melakukan ini. Aku sependapat dengan uda Magek, kita tidak boleh merepotkan semua orang dalam urusan ini.”

“Aku mengharapkan yang terbaik darimu dan sebagai balasannya aku memberi yang terbaik.”

“Yang kulakukan ini sudah menjadi tugasku.”

“Apakah kalau kau akan tetap membantuku jika kau bukan keturunan Sang Sapurba?”

“Aku tidak akan ada disini kalau aku bukan keturunan Sang Sapurba.”

Dia mendekatkan kepalanya sambil menoleh sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan kami.

“Aku tidak melihat pedang Sumbing 99 bersamamu”, bisiknya.
“Curo Si Manjokini dan keris Si Ceti Muno dipegang oleh kakakku.”

“Magek Tonjang?”

Aku tertawa. “Tentu saja bukan. Dia cuma kakak angkat.”

Cinduamato kaget. “Kau punya kakak? Ada keturunan lain dari Sang Sapurba?”

“Tentu saja”, sahutku. “Apa kau pikir Sang Sapurba tidak bisa punya banyak keturunan?”

“Bukan begitu maksudku”, jawabnya geli. “Kupikir cuma kau seorang keturunannya di negeri ini, mengingat cuma kau yang datang kemari.”

“Kakakku tidak akan meninggalkan pulau kalau urusannya tidak penting. Dia kepala keluarga. Kami lebih membutuhkan dia disana ketimbang disini.”

“Bisakah aku bertemu dengan kakakmu? Eh, siapa namanya?”

“Yang Dipertuan Nila Pahlawan. Seperti yang kukatakan tadi, hanya urusan yang sangat penting yang bisa membuat kakakku keluar dari pulau.”

“Urusan macam apa itu?”

“Aku tidak tahu. Bisa kau bayangkan sendiri urusannya macam apa kalau perang ini saja tidak dianggap penting oleh kakakku.”

Cinduamato mengangguk-angguk. “Bagaimana kalau kita berlatih sebentar?”

“Apa maksudmu?”

“Berlatih, bermain silat. Ayo.”

Dia sudah berjalan mendahuluiku. Mau tak mau aku mengikutinya menuju tengah lapangan luas di depan rumah gadang, Sedemikian luasnya lapangan itu sampai-sampai pasukan Pagaruyung dapat dengan lega mendirikan kubu mereka di sekelilingnya. Orang-orang langsung memusatkan perhatian pada kami yang berdiri tegak berhadapan.

“Agar jelas maksudnya, apakah kau menantangku bertarung?”

“Kau bisa bilang begitu, Jaga serangan!”

Dia maju cepat sekali sambil melontarkan serangkaian pukulan. Aku berpindah tempat mengelakkan serangannya.

“Kau gila!”, teriakku. “Kita di depan orang banyak.”

“Kau jaga saja seranganku.”

Aku berpindah beberapa kali tapi dia bisa menjaga irama serangannya dan tetap menempel padaku. Tendangan dan pukulannya terus mencecar dengan ganas, mendesing tajam membelah teriknya sinar matahari sore. Hawa panas berbau harum ciri khas silat istana Pagaruyung melapisi seluruh gerakannya, menyergap ruang pernafasanku. Pangeran muda ini bersungguh-sungguh menangtangku bertarung sehingga aku tidak punya pilihan selain melayani serangannya.

Sampai sejauh ini Cinduamato sama sekali tidak bisa menyentuhku. Gerakannya masih belum cukup cepat untuk mengikuti ilmu Langkah Gaib. Tapi dia terus menempel seperti lintah dan sergapan hawa saktinya benar-benar membuat nafasku sesak.
Awalnya dia menyerangku dengan jurus-jurus khas istana Pagaruyung yang kukenal baik. Jurus-jurus itu adalah dasar ilmu silat istana yang diciptakan dan dikembangkan oleh Suri Dirajo. Sang Sapurba turut membantu mengembangkan dan menguji jurus-jurus itu sehingga kami anak keturunannya punya hak untuk ikut mempelajari. Aku kenal baik Delapan Belas Jurus Mahadewa dan bisa memainkannya dengan lebih ganas. Tapi baru enam jurus dia menyerangku, ilmu silatnya berubah. Aku sama sekali tidak mengenal jurus-jurus yang dimainkannya meski aku tetap bisa membaca arah serangannya.

“Sudah kuduga kau mengenal Delapan Belas Jurus Mahadewa", ujarnya, "Tapi yang kumainkan ini pasti kau tidak mengenalnya. Ini ilmu silat yang diturunkan ayahku, Tiga Belas Jurus Pengguncang Jagad. Yang kumainkan sekarang adalah jurus pertama, Jagad Tunduk Di Kaki Sang Raja.”

Cinduamato menggempur kedudukanku. Hanya karena aku tidak memainkan jurus dengan membuka kuda-kuda maka dia tidak bisa secara langsung mengarahkan jurusnya. 
Setengah jalan dia mengubah gerakannya karena aku mementahkan jurusnya dengan Langkah Gaib. Tak kusangka dia merangsek maju lurus-lurus sambil mengemplang pelipiskku kiri-kanan. Bisa saja aku mengelak dengan Langkah Gaib tapi aku juga ingin tahu seberapa besar nyali Tuan Mudo Cinduamato. Alih-alih menghindar, aku menyambut serangannya dengan sodokan siku ke arah ubun-ubung dengan tangan kanan sementara tangan kiri bersiap menangkis kemplangan di kanan. Cinduamato memiringkan kepalanya menghindari siku tanpa mengendorkan serangan. Tangan kiri kujulurkan dengan kepalan terkunci mengincar tengah keningnya. Cinduamato terkesiap dan menarik pulang semua serangannya sambil mundur memasang kuda-kuda baru.
"Kau tidak kenal kata mundur, rupanya."
“Mungkin. Apa kita sudahi saja main-mainnya?”

“Belum, aku belum selesai dengan Langkah Gaibmu. Jaga jurus keduaku, Tiga Jagad Berputar Balik.”

Tiga rangkaian serangan, kepala, perut, kaki, menggempur keras! Aku mengelak, Cinduamato mengejar dengan rangkaian serangan yang sama. Serangan berikutnya dia merubah rangkaian gerakannya menjadi perut, kepala, kaki. Lalu perut, kaki, kepala. Lalu kepala, kaki, dada. Lalu bahu, punggung, perut. Serangan terbalik-balik yang dahsyat! Niscaya aku sulit untuk lolos kalau penguasaan Langkah Gaibku belum pada tingkat yang kumiliki saat ini.
"Jurus kelima!"
Dia loncat ke jurus kelima tanpa menyebutkan nama. Mungkin dia merasa aku bisa membaca gerakannya dengan mengartikan nama jurusnya.
Kulit lenganku terasa perih karena sambaran hawa sakti. Kulirik tanah di bawah kakiku, ada bekas seperti sambaran pisau disana. Ini namnaya hebat! Memainkan hawa sakti dengan cara melontarkannya seperti pisau. Namun tetap saja semua tidak ada yang mengenai sasaran.
"Delapan!"
Dia bahkan tidak mau repot menyebutkan kata jurus.

Udara bergolak, bergetar keras sampai terasa ke anak-anak rambut di lenganku. Rasanya seperti ada ribuan jarum menusuki sehingga aku harus menguatkan hawa pelindung dan menambah kecepatan gerak menghindar.
Mendadak dia berhenti, tapi belum sempat aku menarik nafas, sesuatu yang menakjubkan, sekaligus mengerikan, terjadi.
Aku masih sedepa mengambang di udara saat empat sosok Cindumato mendadak muncul mengepungku dari empat penjuru. Seruan penuh kekaguman bergaung diseluruh lapangan, para prajurit Pagaruyung terkesima melihat digdayanya Tuan Mudo Cindumato.
Dua Cinduamato menyerang dengan dua jurus yang berbeda sementara dua lainnya menutup jalan keluarku.  Keras dan ganas serangan ini, menekan habis hawa pelindungku. Dia berhasil memaksaku untuk memainkan jurus setelah memperlambat Langkah Gaib. Dua Cinduamato meraih lengan dan mencengkram bahuku sementara dua lainnya mendesak dengan pukulan ke pelipis dan tendangan ke perut. Aku menarik nafas dan memutarnya di perut. Dalam sekejapan mata tubuhku bergerak dalam jurus yang mungkin hanya Cindumato dapat melihatnya, meski dia tidak bisa menahannya. 
Keempat Cinduamato menyeringai sebelum terpelanting.
Seribu prajurit ditambah tiga ratus orang petarung siap menyerbu ke arahku. Cinduamato melenting bangkit sambil menghapus keringat di dahinya bersamaan dengan meleburnya tiga bayangan ke sosok aslinya.

“Sudah kuduga”, katanya sambil menghampiriku. “Langkah Gaib hanya bisa dibendung dengan menutup semua jalur udara di sekelilingmu. Semua, karena seujung jarum celah pun masih bisa kau gunakan untuk lolos.”

“Jurus warisan Andika Adityawarman sungguh hebat.”

“Baru kau yang mencoba jurus kesepuluh tadi. Sebagian kecil lawanku tumbang di jurus kelima, sebagian besar di jurus ketiga. Ini pertarungan main-main paling berat yang pernah kurasakan. Tapi setidaknya tujuanku tercapai."
"Aku tidak paham maksud kata-katamu."
"Lihat ke sekelilingmu. Aku sangat tahu kalau semua orang menilaimu sebagai tukang bikin masalah. Bahkan para penasehat istana sempat mempertanyakan keputusan Dang Tuanku menunjukmu sebagai pengawalku. Tapi sekarang semua sudah berubah. Hari ini, saat ini, di depan mata mereka, ada satu orang yang bisa membuat pendekarnya pendekar Minangkabau terpelanting."
"Apakah kau sudah memikirkan apa yang akan terjadi pada titah Dang Tuanku kalau kau tidak hanya sekadar terpelanting tadi?"
Cinduamato menyeringai. "Kata orang-orang aku tidak mudah dilukai."
Kuat dugaannku kalau orang ini ada kelainan di otaknya.
Cinduamato mengangkat tangan menenangkan pasukannya. "Kurasa kalian sudah melihat sendiri hasil latihan kami. Kurang dari bilangan jari petarung di Minangkabau yang punya kemampuan seimbang denganku, terlebih lagi yang bisa menjatuhkanku. Tapi hari ini ada satu orang yang bisa melakukannya dan dia ada di pihak kita
"Dengarkan perintahku, wahai prajurit Pagaruyung! Tugas kalian adalah membukakan jalan untuk aku dan Rangkayo Alang Babega menuju puncak bukit Tambun Tulang. Kami nanti yang akan menghadapi Gampo Cino di markasnya. Sepekan dari sekarang kita seret penyamun itu ke hadapan Dang Tuanku!" 
Kata-katanya disambut dengan sorak penuh semangat. Aku benar-benar terkesima. Baru kali ini aku melihat besarnya kepatuhan dan kepercayaan yang diberikan pada satu orang. Tak terasa aku bersumpah dalam hati untuk melindungi lelaki ini dengan nyawaku. Apa pun yang terjadi, Cinduamato tidak boleh terluka.
Makhluk apapun Gampo Cino itu, akan kubawa dia ke depan kakimu”, bisikku.

“Aku tahu”, jawabnya sambil merangkul bahuku. 

Bersambung ke Bagian 7.

keterangan istilah:
uwan = istilah lain panggilan kepada kakak laki-laki
etak = panggilan kepada istri paman atau perempuan yang sebaya dengan ibu